MUSLIMAH WAHDAH PUSAT
MUSLIMAH WAHDAH PUSAT
TUTUP

Catatan Perjuangan Dakwah di Pulau Timur Indonesia

Muslimahwahdah.or.id - MAKASSAR, Dakwah selalu menyimpan sejuta cerita dimanapun ia disemai. Berjalan di titian dakwah selalu membawa kita pada arti sebuah perjuangan tak kenal lelah yang juga dilalui oleh manusia terbaik utusan Sang Khalik. Sebaik-baik pekerjaan dan balasan indah pun akan menanti.

Itu pula yang dialami oleh daiyah berdarah Jawa ini, memilih bertahan di medan perjuangan walau rintangan serasa tak bertepi. Ummu Hanifah, sapaan Ustadzah Sri Wedari yang telah meniti dakwah di pulau paling timur Indonesia, Papua tepatnya di Kota Marauke sejak 2001.

Tentu sebuah tugas yang tak mudah. Daerah yang dikenal dengan adatnya yang kental dan 70 % penganut nasrani ini memiliki alurnya sendiri. Namun, bagaimana pun kondisinya, dan dimanapun kita berada dakwah ini harus terus bergemuruh. Dakwah harus tetap ditegakkan. Bahkan lajunya harus semakin kencang, seiring dengan problematika yang kompleks melingkupi umat.

Dakwah Alquran Mulai Menarik Simpati

Seminar Alquran dan Tasyakuran Dirosa Angkatan 5 Muslimah Wahdah Marauke

Awal mula berdakwah, daiyah Muslimah Wahdah ini ketika mengajak masyarakat setempat untuk bermajelis ilmu yang datang hanya dua orang. Lalu kemudian saling mengajak yang lain.

“Kalau saya prinsipnya dalam membina itu kita harus komitmen, jangan sering kasih libur (red: dilburkan), jangan sering dibatalkan walaupun hanya beberapa orang yah tetap jalan,” tutur Ustadzah Sri Wedari.

Puluhan tahun dijejaki, pendekatan secara personal juga terus dilakukan. Ada yang tertarik belajar, namun ada juga yang memilih meninggalkan majelis. Sebuah sunnatullah ada yang datang dan ada pula yang pergi. Sama seperti titian dakwah para nabi terdahulu. Namun alhamdulillah tahun 2016, sedikit demi sedikit mulai banyak yang tertarik belajar Alquran saat diadakan kegiatan Dirosa (Pendidikan Alquran oleh orang dewasa).

“Lewat belajar mengaji mereka senang karena memang ada yang belum tahu mengaji. Mereka bersyukur karena ada yang mau mengajari. Jadi dengan pendekatan Alquran mudah diterima oleh masyarakat,” lanjut Ketua Muslimah Wahdah Wilayah (MWW) Papua ini.

Nah sejak 2016 itu, hingga kini sudah lima kali dilaksanakan Tasyakuran Dirosa bagi mereka yang telah menyelesaikan 20 kali pertemuan dirosanya di Kota Marauke,  Ibukota Provinsi Papua Selatan dan satu kali di Kabupaten Yapen, Papua. Ratusan alumni sudah tercetak. Nampaknya dakwah Alquran ini cukup menarik simpati masyarakat. Bahkan tidak jarang pesertanya dari kalangan lansia berumur lebih 70 tahun. Kegiatan lain pun alhamdulillah mulai diminati, misalnya daurah Ramadhan muslimah, seminar Alquran, majelis taklim yang dihadiri ratusan muslimah.

Faktor Keamanan dan Mobilitas Menjadi Kendala

Kitapun menyakini bahwa dakwah ini memang selalu menemui tantangannya. Layaknya kehidupan yang jua digariskan penuh suka duka.

Diakui, faktor keamanan menjadi salah satu tantangan besar dakwah di Papua. Gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) bisa saja mengancam pada daiyah dalam menjalankan tugas. Belum lagi masyarakat asli sebagian masih suka mabuk-mabukan, hingga di pinggir jalan dan membawa senjata tajam. Ancaman jiwa yang menghantui setiap saat, tidak bisa disangkal akan membuat diri was-was. Para daiyah ataupun masyarakat harus senantiasa berhati-hati ketika keluar rumah.

Selain itu sulitnya akses transportasi dan tantangan alam juga menjadi kendala. Papua yang sejak 2023 terdiri dari 6 provinsi dengan ribuan pulau, butuh moda transportasi yang bisa mendukung pergerakan dakwah. Beberapa daerah terutama kawasan pulau akan sulit untuk dijangkau.

Meski di daerah minoritas, perjuangan dakwah harus terus berjalan

Walau begitu, da’i dan daiyah tetap berusaha untuk bisa menjangkau wilayah yang bisa terbilang cukup jauh. Dengan bantuan speedboat, perjalanan membelah lautan lepas, menerjang ombak yang kadang tinggi dipermainkan angin. Belum lagi wilayah darat dengan wilayah pinggir hutan. Sungguh perjalanan yang menguji adrenalin.

Tidak adanya jaringan telekomunikasi juga sering menjadi penghalang. Jaringan seluler yang hilang sama sekali, bukan hanya sebentar tetapi bisa sampai beberapa bulan, bisa menyulitkan komunikasi.

Kabupaten Yapen dan sekitarnya merupakan wilayah industri, yang mana banyak pendatang dari luar Papua yang mengadu nasib dan mencari penghidupan disana. Alhasil, terkadang sudah ada yang belajar,  kemudian kembali ke kampung halamannya diluar Papua. Muslimah yang sudah belajar Islam dan akhirnya kembali ke daerah asalnya tersebut, membuat ia akhirnya meninggalkan majelis ilmu.

Namun, kendala-kendala tersebut tak menyurutkan langkah dakwah yang sudah dijejaki. “Dimanapun kita berada, pastilah pertolongan Allah akan datang. Alhamdulillah sudah ada kegiatan yang sudah bisa berjalan secara rutin misalnya tahfidz weekend,” ungkap Ustadzah Sri Wedari dengan penuh optimisme.

Pembinaan Muallaf Masih Menjadi Tugas Besar

Tak dapat dipungkiri, tugas besar dai dan daiyah di Papua ini masih banyak. Membumikan Islam di dada penduduk asli yang mayoritas nasrani tentu menjadi misi yang masih terus dilangitkan.  Bahwa mereka yang telah muallaf, betul mau belajar memperbaiki diri menjadi muslim sejati. Sebab karakter mereka yang keras dan sulit untuk keluar dari kebiasaan nenek moyangnya. Walau berkali-kali diajak untuk belajar, ketertarikannya masih kurang dan mudah terombang ambing untuk kembali kepada agamanya terdahulu hanya karena persoalan sepele.

Suku Marind dan beberapa suku asli Papua yang menganut nasrani masih sangat kental dengan adat istiadatnya. Pemikiran masyarakat masih primitif. Yang memilih untuk masuk Islam, masih sebatas berpindah agama. Ketertarikan untuk mempelajari Islam lebih lanjut masih rendah.

"Hanya karena persoalan sepele, mereka bisa saja mengancam kalau permintaan mereka tidak dipenuhi mereka akan kembali murtad," tutur Ustadzah Mulyati, Ketua MWW Papua Selatan mengisahkan bagaimana watak dari penduduk asli muallaf ini.

Maka perjuangan ummahat dalam membina para muallaf yang notabene adalah penduduk asli Papua menjadi patut untuk diapresiasi dan terus diberikan dukungan. Kadang para daiyah sudah mengadakan perjalanan jauh (karena lokasi jauh dari pusat kota Merauke) dengan kekhawatiran akan ancaman keamanan selama di perjalanan, namun semangat para muallaf untuk dibina dan belajar Islam yang masih rendah.

Sarsang, Kecamatan Tanah Miring, Kabupaten Marauke, salah satu daerah yang pernah dicetuskan untuk membina muallaf disana. Perjalanan yang ditempuh kurang lebih 30 menit ini cukup menguras kesabaran.

“Mereka semangat awalnya, mereka bilangnya 15 orang, tapi ternyata hanya 5 orang. Itupun hanya 3 pertemuan dan setelah itu tidak pernah datang kembali,” kisah Siti Chotijah, salah seorang daiyah yang mengisi halaqah muallaf.

Upaya untuk membina mereka terus dilakukan. Alhamdulillah pada kegiatan Daurah Ramadhan Muslimah tahun 2024 lalu, ada 3 orang muallaf yang hadir. Disamping itu juga sudah ada majelis halaqah muallaf yang berjalan kajian Islamnya. Diantara 40 orang muallaf, sebagiannya sudah ada yang ikut belajar membaca Alquran lewat program Dirosa di Masjid Al Muhajirin PT.Sinar Wijaya Plywood Industries, Kabupaten Yapen, Papua.

Penulis : Fitri Wahyuni

0 Komentar

Belum ada pesan

Tinggalkan Pesan