MUSLIMAH WAHDAH PUSAT
MUSLIMAH WAHDAH PUSAT
TUTUP

Keluarga sebagai Madrasah Iman

Muslimahwahdah.or.id - MAKASSAR, Keimanan kepada Allah adalah syarat mutlak untuk mendapat ridho
Allah dan surga-Nya. Tanpa iman segala kepunyaan manusia tak ada gunanya.
Ia bak debu di hamparan padang pasir, tak ternilai. Menjadi manusia beriman
dengan ridho ilahi adalah cita-cita tertinggi seorang muslim. Dengannya,
kebahagiaan hakiki tak sekadar impian, namun akan berbalas surga kelak.


Keluarga sebagai Madrasah Iman
Keluarga adalah tempat pertama seseorang mendapatkan pendidikan.
Kualitas seorang anak sangat ditentukan oleh peran orang tua. Proses
pendidikan yang dilakukan orang tua kepada anaknya menjadi kunci utama
kualitas seseorang. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap
manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang
menjadikannya Yahudi atau Nasrani” (HR. Bukhari-Muslim). Dalam hadits ini,
tersurat pelajaran besar betapa orang tua akan sangat mempengaruhi anaknya.
Fitrah setiap anak yang lahir adalah bertauhid, mengesakan Allah. Artinya
setiap anak yang lahir adalah beriman. Mengapa ada anak yang berbelok, tidak
lagi lurus keimanannya, itu karena orang tuanya.


Mengapa keluarga atau orang tua sebagai madrasah? Karena sejatinya
waktu seseorang akan lebih banyak dihabiskan bersama keluarganya.
Bukankah sejak lahir, seorang bayi dimomong oleh kedua orang tuanya. Tak
ada sentuhan lain, selain sentuhan orang tua dan keluarganya yang lain. Ketika
anak sudah bersekolah pun, waktunya masih lebih banyak di rumah daripada di
sekolah.

Di akhirat kelak, orang tualah yang akan diminta pertanggungjawaban
oleh Allah atas didikannya kepada anaknya, bukan gurunya di sekolah.
Seorang ayah akan bertanggung jawab dengan didikannya kepada istri dan
anaknya. Seorang ibu juga akan diminta pertanggungjawaban dengan rumah
yang dipimpinnya serta didikannya kepada anaknya. Jadi untuk mendapatkan
generasi yang sholih maka rumah dan isinya harus dikondisikan untuk menjadi
sekolah bagi penghuninya. Ibu menjadi gurunya, ayah menjadi kepala
sekolahnya, dan rumah menjadi kelas belajar yang nyaman bagi siswanya.
Adanya peran orang tua yang sangat penting ini, mewajibkan orang tua
untuk senantiasa belajar. Manusia memang harus menjadi pembelajar seumur
hidup. Sayangnya menjadi orang tua tak ada sekolah khususnya. Jikalau
seorang muslim tak menyadari dan tak berusaha untuk mengilmui tugas
penting ini, maka akan sangat fatal akibatnya. Seorang laki-laki menjadi sosok
ayah hanya karena ia telah memiliki anak, tapi tak tahu bagaimana tugas dan
fungsinya sebagai ayah dalam keluarga dan pendidikan anak. Begitupun
dengan seorang wanita, ia seakan-akan terpaksa menjadi ibu ketika ia telah
melahirkan anak, namun tak tahu tugas pentingnya menjadi seorang ibu.
Islam adalah agama yang syamil wa kamil (menyeluruh dan sempurna).
Islam tak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, namun juga
mengatur hubungan manusia dengan manusia itu sendiri, termasuk dalam
aspek hubungan orang tua dengan anak. Orang tua yang diberi amanah untuk
mendidik anaknya, sebaliknya anak diperintahkan untuk berbakti kepada orang
tua.

Dalam hal pendidikan anak, Islam sudah begitu banyak memberikan
pelajaran dan contoh, baik itu dalam Al Qur’an maupun sunnah yang sudah
terbukti keberhasilannya. Hanya saja, kaum muslimin masih belum banyak
mengetahuinya. Mayoritas muslim malah sibuk mengkaji teori parenting barat.
Tentu saja hal ini menjadi ironi. Kaum muslimin harus belajar parenting qur’ani,
mengkajinya, menyebarkan ilmunya, dan mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.


Jadi ketika mencari sebuah keluarga teladan dalam madrasah iman, tak
perlu jauh-jauh mencari kiblat. Sekali lagi, Al Qur’an dan sunnah Rasulullah
telah cukup menjadi referensi. Potret kehidupan nabi dan para sahabatnya
dalam mendidik keluarganya yang bervisi misi imaniyah sangat cukup menjadi
bukti bahwa madrasah dalam keluarga sangat penting sebagai tiang bangunan
perjuangan Islam, sebagaimana visi misinya. Dalam Al Qur’an, Allah juga
menyebutkan bahkan mengisahkan keluarga panutan sebelum kenabian
Muhammad Shalallahu alaihi wasallam. Merekalah teladan terbaik dalam
membina keluarga. Pengabadian dalam Al Qur’an menunjukkan
keistimewaannya, bahwa keteladanan tersebut bukan hanya di masa itu,
namun jua hingga akhir zaman.

Potret Keluarga Nabi dan Para Sahabat
Rumah tangga Rasulullah adalah teladan terbaik. Dari rumah tangganya,
Rasulullah membina istri, anak kandung, anak angkat dan sepupunya yang
masih kecil, Ali bin Abi Thalib. Bisa dibayangkan bagaimana kurikulum dalam
madrasah keluarga nabi yang menjadi keluarga perjuangan yang pertama.
Istrinya yang pertama kali beriman dan mendukung perjuangan Rasulullah,
mencurahkan pikiran, kasih sayang bahkan hartanya habis dalam perjuangan
dakwah Rasulullah. Adapun anaknya, walau kesemua anak laki-lakinya
meninggal sejak kecil, kiprah anak perempuan beliau dalam perjuangan sudah
patut memberi kesan mendalam. Sebut saja Zainab binti Muhammad yang
tetap istiqomah dan rela berpisah dengan suaminya demi tetap menganut
agama Islam dan meninggalkan agama nenek moyangnya, walau rumah
tangganya dengan Abul Ash bin Rabi harus kandas. Ali bin Abi Thalib yang juga
berada dalam rumah tangga Rasul menjadi orang pertama yang beriman dari
kalangan anak-anak, yang kemudian hari menjadi khalifah rasyidah keempat
ummat Islam.

Anaknya Fatimah yang menjadi “ibu dari ayahnya” sejak Khadijah binti
Khuwailid kembali keharibaannya. Dia dengan sigap menggantikan tugas
ibunya dalam perjuangan Rasulullah, menghibur kala sedih, meneguhkan kala
gundah.

Keluarga para sahabat
Keluarga Rasulullah tak sendiri, ada sahabatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq
yang juga menjadi keluarga pejuang, mengikuti jejak sahabatnya. Abu Bakar
tak mencukupkan dengan dirinya saja yang membantu perjuangan dakwah
nabi, namun juga anak-anaknya turut serta berkorban harta dan nyawa.
Kiprah ini bisa ditelisik dengan anaknya Aisyah, wanita yang paling
dicintai Rasul, wanita yang paling cerdas, paling banyak meriwayatkan hadits
dari kalangan wanita. Pun begitu dengan Asma binti Abu Bakar, yang dijuluki

dzu nithaqain, wanita dengan dua ikat pinggang. Keberaniannya
menyembunyikan kepergian Rasul dan ayahnya menuju Madinah saat hijrah
yang sampai Abu Jahal menempeleng wajah hingga anting-antingnya jatuh,
bukanlah perkara sepele. Upaya mendaki Gua Tsur untuk membawakan bekal
makanan kepada Rasul dan ayahnya saat bersembunyi sebelum hijrah juga
bukanlah perkara yang mudah, berjalan kaki, mendaki gunung batu dan terjal
dilalui Asma demi membantu perjuangan dakwah Islam. Keberanian dan jerih
payah itu lahir dari kekuatan iman. Lahirnya sosok wanita pejuang ini tentu
berasal dari pendidikan keluarga karena saat itu kaum muslimin masih sedikit.
Abu Bakar radhiyallahu anhu telah menjadikan diri dan keluarganya sebagai
keluarga pejuang.

Belajar dari Kemuliaan Keluarga Imran
Begitu istimewanya keluarga Imran ini, hingga diberi kehormatan
menjadi salah satu nama surah, yang hanya 114 nama. Tak akan ditemui nama
keluarga yang lain, selain nama keluarga Imran, Ali Imran, padahal sosok Imran
bukanlah seorang nabi apalagi rasul. Allah bahkan memujinya lewat sebuah
ayat, yang menyandingkannya dengan nama dan keluarga nabi. Allah
subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّاللَّهَاصْطَفَىآَدَمَوَنُوحًاوَآَلَإِبْرَاهِيمَوَآَلَعِمْرَانَعَلَىالْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga
Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).” (QS Ali Imran:
33)

Lantas apa keistimewaan keluarga Imran? Dalam tafsir Ibnu Katsir,
Imran dan istrinya adalah hamba yang senantiasa tekun beribadah. Mengawali
pendidikan anaknya sejak dalam kandungan. Ketika istri Imran hamil, ia telah
berdoa dan menadzarkan anaknya menjadi hamba yang sholeh yang mengabdi
kepada Allah, secara khusus akan berkhidmat kepada Baitul Maqdis. Nadzar
keluarga Imran ini menunjukkan tingginya cita-cita untuk melahirkan generasi
berkualitas, dengan senantiasa memohon kepada Allah agar generasi yang
akan dilahirkan benar-benar menjadi hamba Allah yang sholeh. Maka doa sejak
mengandung anak menjadi senjata yang sangat ampuh, untuk melangitkan
harapan. Untuk itu ia berkata, seperti yang disebutkan firman-Nya: Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam
kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis).
Karena itu, terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran: 35)

Seorang ibu hendaknya memperhatikan sisi ruhiyah ketika ia
mengandung, bukan hanya sibuk memikirkan hal duniawi saja, misalnya
persiapan melahirkan atau dari sisi kesehatannya. Meskipun tentu saja hal
tersebut harus tetap mendapatkan perhatian, namun hal yang pertama dan
utama adalah bagaimana pendidikan dari segi ruhiyah dan itu dilakukan sejak
dalam kandungan. Istri Imran telah melakukan pendidikan dalam kandungan,
walau suaminya (Imran) meninggal ketika hamil. Lalu pendidikan itu berlanjut
tatkala istri Imran melahirkan, ia berdoa, “Dan aku memberinya nama Maryam,
dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak-cucunya dari (gangguan)
setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36).

Lihatlah bagaimana ibu senantiasa memohon kepada Allah penjagaan
kepada anaknya. Potret ini mengisyaratkan bahwa disetiap fase hamil dan
melahirkan hendaknya senantiasa memohon kepada Allah, dan tentu saja Allah
akan menerima hal yang baik. Mengawali setiap fase dengan niat dan cara
yang baik dan melangitkan harapan tersebut kepada Allah, maka Allah akan
menerimanya, bahkan terlibat dalam proses pertumbuhannya. Allah
mengirimkan Zakaria untuk memeliharanya, disebabkan ayahnya, Imran telah
meninggal. Bukan hanya itu, Allah pun senantiasa melimpahkan rezekinya
dengan makanan yang Allah kirimkan kepada Maryam.
“Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik,
membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik, dan menyerahkan
pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di
mihrab, dia dapati makanan disisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam, darimana
ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya
Allah memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.”
(QS. Ali Imran: 37)

Keistimewaan keluarga Imran tak berakhir sampai disitu. Maryam, wanita
suci dipilih oleh Allah untuk menjadi ibu seorang nabi. Ternyata keistimewaan
keluarga ini tak hanya sampai pada anaknya, namun semakin meningkat
kualitas generasinya hingga ke cucunya, yakni Nabi Isa ‘Alahissalam. Doa dan
madrasah iman yang dilakukan oleh Imran dan istrinya berujung pada lahirnya
seorang nabi.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan pertolongannya.
Menjadikan keluarga tak sekadar bangunan untuk memenuhi kebutuhan dunia
semata, namun menjadikannya basis madrasah keimanan.

Penulis : Fitri Wahyuni

0 Komentar

Belum ada pesan

Tinggalkan Pesan