Muslimahwahdah.or.id - MAKASSAR,
Rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau. Peribahasa ini nampaknya akan selalu relevan di berbagai masa, apalagi di zaman sekarang ini.
Muslimahwahdah.or.id – Rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau. Peribahasa ini nampaknya akan selalu relevan di berbagai masa, apalagi di zaman sekarang ini. Saat di mana kita menjadi begitu mudah untuk mengintip lewat celah-celah ‘pagar tetangga’ yang hari ini tidak sulit untuk ditengok, karena segalanya seolah terpampang nyata lewat media sosial. Ya, perkembangan teknologi memang selalu menjadi pisau bermata dua. Ketika memanfaatkannya dengan baik, maka ada banyak sisi positif yang bisa kita dapatkan. Begitupula sebaliknya, ketika ternyata ia digunakan oleh tangan-tangan yang salah, atau digunakan dengan cara yang salah, maka teknologi itu bisa jadi membawa mudharat bagi penikmatnya.
Saat media sosial digunakan tanpa filter yang seharusnya, terkadang tanpa sadar kita menjadi sibuk untuk mematut kehidupan kita dengan orang lain. Melihat orang lain mengunggah kebahagiaannya, kita menjadi mudah untuk meratapi nasib sendiri yang kita anggap tidak seindah konten sang pemilik akun di seberang sana. Dampaknya, beberapa orang menjadi latah untuk ingin ikut memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain, meski bisa jadi, barang itu tidak benar-benar ia butuhkan.
Fenomena ini lagi-lagi didukung oleh perkembangan teknologi lainnya, yakni mudahnya untuk melakukan transaksi hanya dengan modal usapan ujung jari! Ya, belanja online mempermudah segala hal untuk dieksekusi. Bahkan, jika ternyata dana kita tidak mencukupi, lagi-lagi kita bisa dipermudah dengan layanan untuk mengajukan kredit barang, menyicil, atau membayarnya di waktu yang lain. Belum lagi dengan aplikasi pinjaman online yang hadir dengan menawarkan cara-cara praktis untuk berhutang dengan mudah. Tanpa sadar, kita menjadi semakin jauh dari sumber ‘kekayaan’ yang sebenarnya, yakni hadirnya rasa cukup di dalam hati.
Ya, sebab sejatinya, rasa cukup itulah yang mampu menjadi rem bagi kita untuk berhenti dari bersikap konsumtif yang berlebihan. Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh tentu saja telah lebih dulu mengajarkan tentang hal ini, jauh sebelum munculnya istilah ‘minimalism’ yang sekarang sedang ngetren. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya dengan tuntunan wahyu. Sejarah telah mencatat bagaimana penggambaran kesederhanaan hidup Sang Nabi. Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi teladan dengan menjahit bajunya yang robek, alih-alih membeli baju baru. Padahal, beliau adalah pemimpin kaum muslimin. Tentu mudah bagi beliau untuk memperoleh harta dan berbagai perbendaharaan dunia jika melihat dari kedudukannya di tengah-tengah umat Islam kala itu. Namun di sisi yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki Qashwa, unta tunggangan dengan kualitas terbaik, yang menunjukkan bagaimana beliau memprioritaskan nilai pakai dari suatu barang yang memang benar-benar dibutuhkan.
Lebih nyata lagi, al Qur’an juga dengan sangat gamblang telah menunjukkan larangan untuk bersikap boros, dan menyamakan pelakunya sebagai saudara-saudara setan. “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al Isra: 26-27) .
Maka, mari mulai berbenah diri. Sebab ternyata mengerem keinginan untuk memiliki ini dan itu bukan hanya sebatas tren untuk dapat masuk ke dalam barisan kaum minimalis saja. Lebih dari itu, kita sebagai kaum muslimin sudah seharusnya memiliki orientasi akhirat dan berharap bahwa setiap amalan kita berbuah pahala, dengan cara memulai segalanya dengan niat karena ingin meraih ridha Allah. Ya, sebab Allah yang melarang untuk bersikap berlebihan, maka kita memilih jalan tersebut. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan sikap seimbang dalam gaya hidupnya, maka kita pun meneladani hal yang sama.
Setiap dari kita pasti selalu ingin menjadi seseorang yang merdeka. Maka merdekakan pulalah diri kita dari belenggu keinginan-keinginan yang tidak seharusnya. Menjadi lebih mindfull dalam menjalani hidup, termasuk dalam mengarahkan ke mana uang kita akan dihabiskan. Sebab, perkara harta adalah sesuatu yang kelak akan kita pertanggungjawabkan. Bentuk pertanggungjawaban itu bukan hanya sebatas tentang halal-haram sumber harta itu kita dapatkan. Tapi juga tentang bagaimana ia kita habiskan. Jadi, sebelum kemudian memutuskan untuk membelanjakannya, coba tanyakan dulu pada hati kecil kita, telah siapkah kita untuk mempertanggungjawabkannya di hari perhitungan kelak? (AR)
0 Komentar
Belum ada pesan