MUSLIMAH WAHDAH PUSAT
MUSLIMAH WAHDAH PUSAT
TUTUP

Menuju Idul Adha, Maksimalkan Amal Saleh

Muslimahwahdah.or.id - MAKASSAR, Oleh : Ustadz Dr. M Zaitun Rasmin, Lc MA, Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Umum Wahdah Islamiyah

Munculnya pandemi Covid-19 gelombang kesekian di negeri tercinta menjadi pembeda di awal bulan suci Dzulhijjah sekarang ini. Namun, momen ini tidak boleh menyurutkan spirit ibadah kita di hari-hari mulia ini. 

Bahkan, hari-hari mulia yang berbalut kondisi musibah pandemi ini harus bisa menyulutkan motivasi ibadah, doa, dan amal-amal saleh kita sebagai salah satu ikhtiar agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita semua dari musibah ini.

Sepuluh hari awal Dzulhijjah ini adalah hari-hari mulia di sisi Allah Ta’ala. Di dalamnya amal-amal saleh seorang Muslim dilipatgandakan pahalanya dan ditinggikan kualitasnya. Rasulullah SAW bersabda,  

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ اْلأيَّامِ الْعَشْرِ

“Tidak ada satu hari pun amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada 10 hari ini (awal Dzulhijjah).”

Para sahabat menimpali sabda beliau, “Wahai Rasulullah!Meskipun amalan itu jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab: 

وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Meskipun amalan itu jihad di jalan Allah, kecuali ada orang yang keluar ke jalan Allah dengan mengorbankan diri dan hartanya lalu tidak ada sesuatu pun dari dua hal itu yang kembali (yakni dia mati syahid).” [HR Bukhari (969), Abu Daud (2439), dan Tirmizi (767)]

Oleh sebab itu, di tengah gelombang pandemi Covid-19 ini, mari bersabar sekaligus bersyukur kepada Allah karena Dia masih memberikan kita kesempatan untuk mengisi hari-hari mulia ini dengan berbagai jenis ibadah yang sangat utama dibanding pada hari-hari lainnya, baik berupa ibadah mahdhah ataupun ibadah gairu mahdhah.

Ibadah mahdhah adalah ibadah yang ketentuan, tata cara, waktu, dan kadarnya telah ditetapkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya SAW, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dengan petunjuk keduanya.

Contohnya yaitu sholat, puasa, zakat, dzikir, tilawah Alquran, dan sebagainya. Sedangkan ibadah gairu mahdhah adalah semua amal kebaikan yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun ketentuan, tata cara, waktu, dan kadarnya tidak diatur secara terperinci oleh Allah dan Rasul-Nya. Contohnya yakni sedekah, tolong-menolong, belajar, mengajar, berbakti pada orang tua, dan lain sebagainya.

Dua jenis ibadah ini harus kita jaga dan tingkatkan di hari-hari mulia ini karena keduanya saling melengkapi dan memenuhi seluruh waktu kita dengan pahala dan amal saleh, apalagi keduanya akan dilipatgandakan pahalanya di momen Dzulhijjah ini.

Hal ini telah dilakukan para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabiin. Dahulu Sa’id bin Jubair, rahimahullah, sangat giat beribadah siang malam di momen 10 awal Dzulhijjah ini, sampai-sampai beliau berkata, “Janganlah kalian mematikan lampu kalian di malam-malam 10 Dzulhijjah ini (untuk beribadah kepada Allah).” [Baca: Lathaif al-Ma’arif: 262]

Lalu apakah ada amalan khusus yang lebih utama di dalamnya?

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad disebutkan tentang beberapa amalan yang mesti dilakukan pada hari-hari ini, yaitu:

ما من أيام أعظم عند الله، ولا أحب إليه من العمل فيهن من هذه الأيام العشر،فأكثروا فيهن من التهليل، والتكبير، والتحميد

“Tidak ada hari di sisi Allah yang lebih mulia dan lebih Dia cintai daripada amalan di dalam 10 hari ini (awal Dzulhijjah). Sebab itu, perbanyaklah di dalamnya untuk bertahlil (berdzikir La ilaha illallah), bertakbir (berdzikir Allahu Akbar), dan bertahmid (berdzikir Alhamdulillah).” [HR Ahmad: 5446, hasan]

Hadits ini mengisyaratkan bahwa salah satu amalan paling utama sekaligus paling ringan di momen Dzulhijjah ini adalah dzikir. Hal ini ditegaskan juga dalam firman Allah Ta’ala:

ويذكروا اسم الله في أيام معلومات

“Hendaknya mereka berdzikir mengingat nama Allah pada hari-hari yang ditentukan (10 awal Dzulhijjah).” (QS Al Hajj 28)

Tapi perlu dipahami, apa itu dzikir? Dzikir itu bermakna mengingat dengan hati dan juga bermakna menyebut dengan lisan. Sebab itu, amalan dzikir harus menggabungkan dua hal ini bila ingin memberikan efek positif besar bagi kesalehan pribadi dan kebahagiaannya.

Ia bukan sekadar kata hati tapi harus dibarengi dengan lisan. Sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada salah seorang sahabatnya,

لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله

“Senantiasa lisanmu basah dengan dzikir kepada Allah.” [HR Tirmizi (3671) dan Ibnu Majah (3793), sahih]

Sebaliknya, dzikir yang berkualitas adalah bukan sekadar dzikir yang terucap dengan lisan tanpa penghayatan hati. Rasulullah SAW bersabda tentang dzikir sayidul-istighfar yang mesti diyakini dan dihayati agar bisa mendatangkan ampunan dari Allah: 

“Siapa yang mengucapkan doa ini (yaitu doa sayyidul istigfar) pada siang hari dengan menyakini (kebenaran) kandungan maknanya, kemudian mati pada hari itu, sebelum datang waktu sore, niscaya dia termasuk ahli surga. Dan siapa yang membacanya pada malam hari dengan menyakini (kebenaran) kandungan maknanya, kemudian dia mati sebelum datangnya pagi, niscaya dia termasuk ahli surga.”[HR Bukhari (6306)]

Maksud “meyakini kandungan maknanya” adalah mengucapkannya dengan penuh keyakinan dan penghayatan terhadap makna dzikir yang diucapkan itu.Ini sebagai syarat mutlak dalam meraih manfaat dzikir sayidul-istigfar dan juga dzikir-dzikir lainnya.

Di samping itu, dzikir yang dilantunkan dengan lisan yang dibarengi penghayatan hati akan sangat kedengaran syahdu dan menunjukkan kekhusyukan. Bahkan, ini memunculkan rasa syukur, khusyuk, ketenteraman, muraqabah, rasa bahagia, lezatnya ibadah, dan kepuasan spiritual. Dzikir seperti inilah yang membuat para ulama dan orang-orang saleh tak mau meninggalkan dzikir.

Kita sebagai umat Islam harus belajar berdzikir dengan cara seperti ini. Nah, dalam momen Dzulhijjah sekarang ini adalah momen untuk membiasakan diri dengan cara dzikir seperti ini dan memperbanyaknya. 

Meskipun dzikir ini boleh dilakukan di mana dan kapan saja, namun lantaran urgensinya dalam kehidupan kita, Allah Ta’ala sampai mensyariatkan waktu-waktu khusus sebagai waktu-waktu utama untuk berdzikir kepada-Nya, agar bila menjaga momen-momen itu secara khusus. 

Di antara momen bulanan adalah Ramadan dan Dzulhijjah ini. Di antara momen pekanan adalah hari Jumat dengan dzikir atau wirid shalawat secara khusus. Di antara momen harian adalah pagi dan petang, setelah sholat wajib, di saat tengah atau akhir malam.

Meskipun jenis dzikir paling utama di momen Dzulhijjah ini adalah tahlil, tahmid, dan takbir, tapi kita tetap disunahkan untuk memperbanyak membaca berbagai macam dzikir, seperti tasbih dengan berbagai redaksinya (Subhanallah atau Subahanallahi wa bihamdihi atau Subahanallahi wa bihamdih Subahanallahil-‘azhim, dan lain lain) atau hawqalah (La haula wa la quwwata illa billah) atau istighfar (astagfirullah atau astagfirullahal-‘azhim, dan lain-lain).

Dalam momen ini, selain dzikir La ilaha illallah yang merupakan dzikir paling utama yang mesti kita jaga, juga harus memperbanyak takbir secara khusus sebagaimana dalam HR Ahmad sebelumnya. Takbir dalam momen Dzulhijjah terbagi dalam dua jenis, yaitu:

1- Takbir muthlaq, yaitu takbir yang dibaca kapan saja, tidak khusus setelah sholat wajib. Ini disunahkan dari awal masuk Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah).

2- Takbir muqayyad, yaitu takbir yang dibaca khusus bakda sholat wajib secara langsung. Ini disunahkan dimulai pada bakda sholat Subuh hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai bakda sholat Asar di hari Tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah). Redaksi takbir yang sangat utama adalah:

الله أكبر.. الله أكبر.. الله أكبر.. لا إله إلا الله ، الله أكبر.. الله أكبر.. الله أكبر.. ولله الحمد

(Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar, La ilaha illallah, allahu akbar, allahu akbar walillahil-hamd)

Dzikir ini hendaknya dibaca selalu sambil dihayati maknanya di mana saja dan kapan saja.Bila sudah masuk hari Arafah (9 Dzulhijjah) maka diperbanyak dibaca setelah sholat wajib disamping memperbanyaknya di waktu-waktu selain itu.Para sahabat dahulu banyak bertakbir di momen ini di pasar-pasar dan jalan-jalan, sehingga suasananya suasana yang islami dan penuh kekhusyukan.

Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahih-nya bahwa Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah RA di momen seperti ini keluar ke pasar lalu bertakbir secara jahar, lantas mereka diikuti masyarakat yang ada di sana. [Lihat Shahih Bukhari: 2/20]

Di antara amalan lain di Dzulhijjah ini yang juga termasuk bagian dzikir paling utama adalah memperbanyak tilawah Alquran. Hanya saja mesti diperhatikan agar kita membaca Alquran dengan sempurna dan totalitas, yaitu diindahkan dengan tilawah lisan yang perlahan-lahan dan maknanya dihayati dengan hati.Kita harus belajar baca Alquran secara perlahan sembari meresapi maknanya. Allah Ta’ala berfirman: 

وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ  

“Bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.” (QS Al Muzzammil 4)

Contoh penghayatan terhadap makna bacaan adalah: ketika kita membaca ayat tentang neraka maka kita sedih dan takut serta berdoa agar dijauhkan darinya, sebaliknya ketika ada ayat tentang surga, maka dalam hati ada rasa harap dan kerinduan terhadap surga.

Bila membaca ayat-ayat perintah seperti sholat, zakat, sedekah, berkasih sayang, tolong menolong, dan lain-lain, maka ditujukan pada diri kita, sudahkah diri ini melaksanakan perintah-perintah Allah hari ini?

Bila belum harus bertekad untuk melaksanakannya. Sebaliknya, bila membaca ayat-ayat larangan, seperti zina, khamar, judi, zalim, dan berbagai maksiat lainnya, maka hendaknya ditujukan pada diri kita dan berazam untuk terus menjauhinya semampunya.

Praktik bacaan seperti ini dinamakan tadabur Alquran yang Allah perintahkan dalam firman-Nya:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Kitab (Alquran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS Shad 29)

Bagaimana caranya orang yang tidak bisa berbahasa Arab bisa memahami Alquran ketika membacanya? Cara jangka pendek adalah membaca Alquran sembari membaca terjemahannya yang banyak tercetak. 

Adapun cara jangka panjang adalah belajar memahami makna-makna Alquran dari pengajian-pengajian para ulama dan ustaz yang ada semampunya.

Membaca Alquran sembari menghayati maknanya ini adalah jalan keselamatan umat Islam karena ia sarana untuk memahami dan mempraktikkan ajaran dalam kehidupan realitas. Sebab penyimpangan banyak sekte di tubuh umat ini adalah menjauhnya mereka dari Alquran, di antara mereka yang membacanya hanya fokus untuk khataman tapi jarang fokus pada penghayatan dan tadabur makna-maknanya.

Satu-satunya jalan menyelamatkan umat Islam bahkan umat manusia hanyalah dengan berpegang teguh dengan Alquran beserta pemahamannya yang sahih dan penerapannya dalam kehidupan, karena itulah konsep Ilahi dan resep Rabani yag Dia turunkan kepada Sang Nabi untuk diajarkan kepada umat manusia agar mereka mempraktikkan ajarannya dalam kehidupan, Dia berfirman:

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ 

“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Jumuah 2)    

Metode dan konsep Alquran sangat sederhana dan mudah untuk dibaca, dipahami, dihayati, dan diterapkan. Ia telah terbukti sukses dalam perjalanan sejarah. Masyarakat jahiliyah yang memiliki kehidupan keras ala barbar itu, bisa berubah seketika menjadi sebaik-baik umat yang hidup di bumi adalah karena berkat pemahaman dan penerapan Alquran yang mereka jaga.

Bahkan, masyarakat mana pun dalam perjalanan sejarah Islam, termasuk kita bangsa Indonesia, bangsa Turki, bangsa Afrika, dan lain-lain, semuanya berubah menjadi masyarakat yang damai, tenteram, dan memiliki peradaban yang pernah berjaya lantaran penerapan inti konsep Alquran ini dalam kehidupan nyata. Sekarang ini kita harus mengembalikan itu agar bisa menyelamatkan umat dan bangsa ini dari berbagai asbab kebinasaan dan penyimpangan.

Di antara ibadah lain yang sangat utama di momen ini adalah puasa dari 1 sampai 9 Dzulhijjah. Ini merupakan tradisi para sahabat dan tabiin serta para ulama dan orang-orang saleh secara turun temurun, terutama di 9 Dzulhijjah yang bertepatan dengan hari wukuf di Arafah. 

Bagi yang tidak berhaji sangat disunahkan berpuasa Arafah ini karena fadilahnya sangat besar, sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

“Saya berharap kepada Allah agar puasa hari Arafah ini menghapus dosa-dosa pada tahun sebelumnya dan tahun setelahnya.”[HR Muslim: 1162]

Ibadah terbesar di momen Dzulhijjah ini adalah ibadah haji. Namun, di masa pandemi ini kita semua tidak bisa melaksanakannya. Hanya saja kerinduan terhadap haji dalam suasana pandemi ini insya Allah tetap dianggap sebagai ibadah oleh Allah Ta’ala. Niat haji yang belum kesampaian di masa ini juga semoga tetap dinilai Allah sebagai ibadah.

Marilah kita semua hidupkan momen Dzulhijjah ini dengan berbagai ibadah, semoga Allah Ta’ala meridhai kita semua, mengampuni dosa-dosa kita semua, dan menghilangkan pandemi ini sesegera mungkin. Amin.  

0 Komentar

Belum ada pesan

Tinggalkan Pesan