Muslimahwahdah.or.id - MAKASSAR, Muslimahwahdah.or.id – Hari itu adalah hari yang istimewa. Ummu Fulan mengagendakan untuk bertandang di sebuah pondok pesantren dalam jadwal belajar sekolah rumah anak-anaknya. Seperti sebelumnya, keluarga mereka memang punya kebiasaan untuk meminta izin mengikuti tasmi’ 30 juz dari para santri yang telah menyelesaikan hafalan Alqurannya. Sang ibu ingin membiasakan para anandanya dengan atmosfer qurani sekaligus mengambil ibrah dari para orangtua penghafal Alquran yang biasanya turut hadir.
Anak-anaknya telah duduk tenang dalam majelis, Ummu Fulan pun sibuk mencari, di mana gerangan ibu dari santri yang sedang tasmi’ di depan sana. Ketika akhirnya ibu tersebut ia temui, ia perhatikan sejenak penampilannya. Biasa saja. Bukan gamis atau jilbab panjang yang ia kenakan, apalagi cadar. Awalnya ada rasa ragu dalam hatinya, “Benarkah inilah ibu sang hafizhah?” Namun kembali ia kokohkan niatnya, ia yakin akan ada pelajaran yang ia petik.
Maka benarlah, dari hasil perbincangannya dengan sang ibu, sebuah hikmah yang mendalam kembali ia temukan. Ibu dengan penampilan sederhana itu sehari-hari bekerja sebagai asisten rumah tangga. Suaminya telah tiada, dan sang anak ia titipkan ke panti asuhan. Oleh pihak panti, ia dimasukkan dalam pondok pesantren penghafal Alquran. Tetap ada sejumlah biaya yang harus ibu itu tanggung untuk melancarkan perjalanan belajar ananda di sana.
“Saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk anak saya. Yang saya tahu hanya ini. Yang saya bisa hanya bekerja dan mencari uang agar anak saya bisa belajar dan menghafal Alquran.” Tutur katanya begitu sederhana, namun dengan keyakinan yang luar biasa.
Ada kehangatan yang terasa di dalam dada Ummu Fulan. Ia memang bukan sedang mendengar nasihat dari ustadz terpandang, bukan pula dari seseorang dengan pendidikan mumpuni. Tapi ketulusan dan keikhlasan itu justru terasa dari deretan kata-kata yang terdengar biasa saja itu. Ucapan seorang ibu yang menginginkan sesuatu yang terbaik untuk anaknya, dan mengusahakan satu-satunya hal yang ia bisa.
Si Ibu mungkin tidak pernah menekuni ilmu parenting dimanapun. Ia bahkan boleh dibilang sangat jarang bertemu muka dengan ananda. Waktunya barangkali hanya habis untuk bekerja dan mengumpulkan uang, sesuatu yang bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang tidak istimewa. Tapi, di sana ada kejujuran niat. Pada yang ia ikhtiarkan itu, ada tujuan yang mulia. Mungkin memang bukan dia yang menalqinkan alif ba ta langsung kepada anaknya. Tapi, di balik setiap rupiah yang ia kumpulkan, ada peluh dan bahkan mungkin air mata yang harus tumpah dengan tujuan yang mulia. Ia mungkin tidak banyak tahu perihal ayat-ayat atau deret hadits tentang keutamaan Alquran, namun ia cukup yakin bahwa kitab Allah itu akan memberikan kebaikan pada sang putri. Ia memilih jalan ikhtiar yang ia bisa, dan melakukannya dengan semampu yang ia usahakan. Kemudian Allah menggenapkan untuknya, membentuk anaknya menjadi seorang penghafal Alquran, sesuatu yang tidak mudah bagi kebanyakan manusia.
Maka demikianlah jalan ikhtiar masing-masing kita, duhai ibu. Jalurnya barangkali berbeda-beda. Tidak semuanya terlihat sama. Bahkan mungkin ada yang nampaknya tidak sesuai dengan teori atau tidak sejalan dengan teks-teks dalam buku-buku pengasuhan. Sebagaimana jalan hidup masing-masing kita pun macam-macam bentuknya. Beberapa orang dilapangkan di satu sisi, dan disempitkan pada sisi yang lain, begitupula sebaliknya. Bahkan, perihal kapan waktunya kita dapat ‘menikmati’ hasil dari usaha itu pun, tak ada yang tahu kepastiannya. Ada yang dapat melihat sosok ananda menjadi qurrata a’yun sejak masa kecilnya, ada pula yang mungkin masih harus menunggu dan bersabar hingga sang anak menjadi pemuda, atau bahkan setelah ia sudah dewasa. Bahkan, ada anak-anak yang baru Allah beri hidayah, setelah orang tuanya telah tiada. Orang tua yang telah mengusahakan kebaikan untuk anaknya, di sepanjang usianya.
Maka memang, tugas kita hanyalah menjalani usaha kita masing-masing. Ketika kita jujur dengan niat yang ada dalam hati, maka di sanalah Allah akan menilainya. Sebab manusia hanya mampu melihat dari yang tampak, dan sejatinya penilaian mereka pun tak banyak punya dampak.
Allah Maha Tahu kehidupan macam apa yang setiap detiknya kita jalani. Rabb kita menguji kita dengan berbagai hal, dan kita hanya perlu berjuang hingga batas kemampuan yang Allah anugerahkan. Kita sebagai manusia begitu lemah dan banyak kekurangan. Maka atas anak-anak kita, bukanlah ikhtiar kita belaka yang akan menyempurnakan kebaikan dalam diri mereka. Tetaplah Allah yang mampu mencukupkan segalanya.
Dalam rentang sejarah peradaban emas yang lampau, kita menyeksamai kisah-kisah perjuangan para ibunda dari tokoh-tokoh besar itu. Adalah Asma’ binti Abu Bakar yang menanamkan kecintaan kepada Allah dan agama ini kepada putranya Abdullah bin Zubair yang dikenal sangat panjang berdirinya dalam shalat malam, satu-satunya manusia yang berthawaf sambil berenang ketika banjir melanda Ka’bah, dan seorang mujahid pemberani yang menusuk Raja Barbar yang zhalim di depan 70.000 pengikutnya.
Simaklah cerita tentang Shafiyyah binti Maimunah, ibu Imam Ahmad bin Hanbal yang membangunkan putranya sebelum fajar sejak masih kecil. Ia memfokuskannya mencari hadits yang mulia sejak usia 16 tahun. Hingga Allah meneguhkan kedudukan beliau sebagai ulama mumpuni dan satu dari empat imam mahzab.
Dengarkanlah kisah ibunda dari Imam Bukhari yang mendoakan anaknya siang dan malam dengan penuh kejujuran dan baik sangka pada Allah. Doa agar Allah mengembalikan penglihatan Bukhari kecil yang buta sejak belia. Kemudian, dari sepasang mata yang kembali melihat itulah, sang ibu lalu mengikhtiarkan anaknya agar menjadi penuntut ilmu yang tekun. Lalu akhirnya, beliau dikenal pada setiap masa dengan karya monumentalnya, Shahih Bukhari, kitab yang paling shahih setelah Alquran.
Masyaallah…
Duhai, Ibu… Kita mungkin memang hanyalah perempuan akhir zaman yang masih jauh dari keshalihan para ibunda orang-orang shalih itu. Tapi kita masih punya doa, doa yang sama, doa seorang ibu. Kita juga punya cinta, cinta yang sama, cinta seorang ibu. Dengan sepenuh hati yang kita punya, kita menginginkan kebaikan atas para buah hati kita. Sebab, kita tak pernah tahu, bisa jadi, bocah kecil dalam dekapan kita ini kelak adalah pemimpin orang-orang beriman, sebagaimana doa yang senantiasa kita langitkan. Ataukah mereka ditakdirkan menjadi manusia yang memberi manfaat besar di tengah masyarakat. Kita tidak pernah benar-benar tahu, Bu…
Ibu, Allah hanya ingin melihat ikhtiar terbaik kita, dan kejujuran niat yang ada dibaliknya. Kemudian biarlah Allah yang menyempurnakan hidayah-Nya kepada anak-anak kita. Hingga terkabullah doa yang selalu kita panjatkan, membentuk mereka menjadi hamba Allah yang shalih dan shalihah. (AR)
0 Komentar
Belum ada pesan