Muslimahwahdah.or.id - MAKASSAR, Kasus sejenis itu bukan yang pertama kalinya, namun selalu saja mampu membuat kaget dan miris setiap yang mendengarnya. Seorang ibu membunuh anak kandungnya sendiri. Usia sang anak pun bervariasi, ada yang masih bayi dalam buaian, ada yang sudah balita, ada juga kasus di mana si anak menginjak usia hingga belasan tahun. Berbagai macam kasus yang muncul itu di permukaan nampak ‘hanya’ berupa kekhilafan seorang perempuan yang seolah sejenak kehilangan kasih sayangnya sebagai seorang ibu, hingga mampu menghabisi nyawa anak yang ia lahirkan sendiri. Namun, dalam kasus-kasus tersebut, jika ditelisik lebih dalam maka kita akan menemui benang merah yang sama, bahwa si pelaku berada dalam kondisi mental yang sedang tidak baik-baik saja. Beberapa di antaranya ternyata tanpa sadar mengidap depresi pasca melahirkan, ada pula yang sedang berada dalam himpitan ekonomi, dan tak jarang juga sedang menanggung konflik dengan orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi support system utamanya dalam mendampingi buah hati.
Dalam kasus lainnya, kesadaran kita kembali dihentak ketika muncul kabar tentang seorang siswa SD berusia sebelas tahun di Banyuwangi yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara gantung diri. Diduga penyebabnya adalah depresi akibat perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya. Kondisi tidak mengenakkan yang terjadi berlarut-larut itu membuat seorang bocah berpikiran pendek untuk bunuh diri guna mengakhiri tekanan batin yang ia rasakan.
Dua kelompok contoh kasus di atas mungkin terdengar cukup ekstrem karena berakibat pada hilangnya nyawa. Namun, tahukah kita bahwa akibat-akibat lain dari gangguan kesehatan mental juga mengintai siapa saja, meski terkadang tidak semuanya bisa terekspos ke publik? Lalu, seberapa penting kesehatan mental itu dibanding kesehatan fisik yang banyak digaungkan untuk senantiasa dijaga?
Pentingnya Kesehatan Mental
Mental illness (mental disorder) menurut dr. Antari Puspita dari RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat dalam laman Kementrian Kesehatan, dijelaskan sebagai kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi di antaranya. Kondisi ini dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama (kronis).
Faktor penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yakni faktor biologis dan psikologis. Faktor biologis meliputi gangguan pada sel saraf, infeksi, kelainan bawaan atau cedera otak, kerusakan otak, bahkan kekurangan nutrisi. Sedangkan faktor psikologis meliputi peristiwa traumatik, kehilangan atau disia-siakan oleh orang tua, perasaan rendah diri, kemarahan, dan kesepian.
Tidak seperti gangguan kesehatan pada fisik yang dapat dilihat secara nyata, seperti luka pada tubuh, lebam membiru di atas kulit, demam yang terdeteksi oleh termometer, atau gangguan kesehatan lainnya yang dapat terukur dengan angka-angka dalam hasil laboratorium, gangguan kesehatan mental nampaknya bersifat lebih ‘absurd’.
Seseorang dengan gangguan mental dapat terlihat baik-baik saja dari luar, layaknya seseorang yang benar-benar sehat. Namun nyatanya, di dalam dirinya sedang memerlukan bantuan dan support yang luar biasa dari sekelilingnya. Kondisi ini seringkali membuat penderita menjadi enggan untuk memeriksakan diri, menolak kenyataan bahwa ia tidak sedang sehat secara psikis. Demikian pula dengan orang-orang di sekelilingnya. Ada stigma yang ‘memukul rata’ bahwa gangguan jiwa hanyalah layaknya orang-orang (maaf) gila yang berjalan tak tentu arah dengan pakaian compang-camping saja. Sehingga, orang-orang dengan kondisi kesehatan mental yang buruk menjadi malu untuk mengakui kondisi dirinya sebab khawatir dengan stigma tersebut. Padahal, meski tak terlihat secara nyata, gangguan mental dapat berujung pada hal-hal yang fatal seperti contoh kasus yang kita sebutkan di awal.
Data menunjukkan dari hasil survet Populix seperti yang dipaparkan dalam laman Katadata, bahwa satu dari dua masyarakat Indonesia merasa bahwa dirinya punya masalah kesehatan mental. Persentasenya sebanyak 52%. Responden berasal dari kalangan berusia 18-24 tahun, dan mayoritas dari mereka menyatakan bahwa masalah finansial sebagai pemicu utama. Selebihnya menyebutkan, rasa kesepian sebagai penyebabnya.
Literasi Kesehatan Mental: Mencegah Ekstrem ‘Kanan’ ATAU ‘Kiri’
Ilmu adalah kunci. Mengetahui tentang sesuatu akan membuat kita mampu menempatkan diri dan menyikapi hal tersebut dengan benar. Begitupula dengan masalah kesehatan mental ini. Penting bagi kita untuk memiliki pengetahuan dan keyakinan yang benar perihal gangguan-gangguan mental sehingga kita bisa melakukan pencegahan, mengetahui akses pengobatan, atau strategi pertolongan mandiri yang efektif. Hal ini dapat menghindarkan kita dari sikap ‘ektrem kanan’ yang menganggap sepele permasalahan ini. Juga sikap ‘ekstrem kiri’ yang menjadi memudah-mudahkan untuk melakukan diagnosis mandiri tentang kondisi kesehatan mental seseorang tanpa pendampingan seorang profesional.
Perilaku kita didasari oleh pemikiran kita. Sedang pemikiran ini dikendalikan oleh perasaan. Kita bisa berpikir dan berpendapat tentang sesuatu karena ada emosi yang keluar atas respon terhadap sesuatu itu.
Sehingga perlu kita pahami emosi kita sendiri dulu. Jujur sama diri sendiri tentang apa yang kita rasa. Bahwa semua perasaan itu valid. Memang perlu waktu lama untuk bisa memahami diri sendiri. Tapi kabar baiknya, kita akan terus hidup membersamai diri kita. Jadi tidak instan pun tidak apa-apa, kita bisa terus berproses.
Mengenal diri sendiri, lalu memahami bahwa kita butuh cara mengeluarkan emosi itu. Bisa dengan menulis diary, menulis notes di hp, membaca buku, minum secangkir coklat hangat, bercerita dengan orang yang dipercaya, dsb. Temukan cara-cara yang baik yang pas dan sesuai dengan diri kita.
Betapa banyak orang yang akhirnya berlarut-larut dalam gangguan mentalnya, hingga akhirnya mengganggu aktivitas kesehariannya, sebab ia menahan diri untuk mengakses layanan kesehatan sebab takut di-cap sebagai ‘orang gila’.
Di sisi lain, beberapa orang dengan mudahnya menganggap dirinya sedang depresi, atau merasa sedang berupaya menjaga kesehatan mentalnya, sehingga akhirnya menutup diri dari berbagai tantangan yang sebenarnya bisa membuatnya bertumbuh. Nyalinya keok duluan sebab khawatir kesehatan mentalnya terganggu.
Hari ini, akses informasi sudah terbuka lebar. Sudah cukup banyak pihak yang berupaya membuka banyak ruang diskusi serta membagikan ilmunya perihal ini. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental juga mulai terbangun. Maka, pilihannya ada di tangan kita untuk memaksimalkan diri dalam mengakses informasi tersebut, tentunya dengan memastikan validitas dan kebenarannya.
Kuatnya Mental Seorang Muslim
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari Muslim)
Agama kita telah jauh-jauh hari mengingatkan tentang pentingnya menjaga hati. Hati yang meliputi akal kita akan memberikan kita kemampuan untuk memahami segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini. Baiknya hati akan membawa kita pada ikhlasnya niat hanya karena Allah, mengantarkan rasa cinta karena Allah, serta membawa kepada rasa takut akan siksa-Nya. Keyakinan pada hal ini akan bermuara pada keimanan untuk menerima segala yang Allah takdirkan kepada kita. Hal itu akan mengantarkan kepada ketenangan jiwa, hilangnya kecemasan, tidak adanya ketakutan kepada makhluk, serta musnahnya rasa was-was sebab kita hanya bergantung kepada Allah semata.
Beningnya hati akan membuat kita mudah untuk bersyukur pada setiap nikmat yang datang kepada kita. Serta juga mampu untuk bersabar ketika kita dilanda oleh musibah. Dalam hadits yang lain disebutkan, bahwa kondisi syukur dan sabar dalam diri seorang muslim itu merupakan perkara yang menakjubkan!
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama mulianya dengan hari ini, negeri ini, pada bulan ini. Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu. Bapak kalian semuanya Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Alla ialah yang paling takwa!”
Demikian deretan kalimat itu disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khutbah beliau pada peristiwa Haji Wada’. Ustadz Fauzil Adhim dalam bukunya Positive Parenting, mengutip peristiwa tersebut dan menjelaskan bahwa jika pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tersebut mampu untuk kita maknai dengan baik, maka akan lahirlah orang-orang dengan rasa percaya diri yang tinggi, konsep diri yang baik, pikiran yang terbuka, dada yang lapang, dan harga diri (self esteem) yang kukuh.
Ya, sebab tolok ukur kemuliaan itu adalah takwa! Maka kita tidak akan mudah menyerah dengan kondisi, tidak akan minder karena materi, dan tidak pula merasa kerdil hanya karena minim dukungan dari siapapun. Ketergantungan kita hanya kepada Allah dan kekuatan itu berasal dari kemampuan kita untuk terus menjaga ketakwaan di dalam dada.
Lalu, apakah pendekatan agama saja sudah cukup untuk menjaga kesehatan mental? Penelitian menunjukkan, bahwa peran agama cukup penting untuk dapat menjadi salah satu dari usaha untuk menjaga ‘kewarasan’. Mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala lewat ibadah-ibadah, menenangkan jiwa dengan banyak berdzikir dan membaca al Qur’an, serta berupaya untuk mendalami agama, akan memiliki peran yang besar dalam menjaga kondisi jiwa kita.
Namun, dalam beberapa kasus tertentu, kita harus tetap bersikap adil dan memberikan persoalan kepada ahlinya. Dalam hal ini, seseorang mungkin memerlukan bantuan profesional dalam terapi gangguan mentalnya. Kehadiran psikolog misalnya, dapat membantu memberikan kesimpulan terhadap masalah yang mengganggu pikiran, perilaku, dan emosi seseorang. Lebih jauh lagi, terutama pada gangguan yang menimbulkan gejala fisik, maka meminta bantuan pada psikiater atau dokter ahli kejiwaan, dapat membantu dalam menegakkan diagnosis serta meresepkan obat-obat tertentu yang dapat meredakan gangguan yang dirasakan.
Menempuh ikhtiar-ikhtiar ini tentunya bukanlah sebuah aib, namun sebagai suatu usaha untuk dapat lebih dekat kepada kesembuhan yang tentunya kita yakini hanya datang atas takdir Allah semata.
Maka, mari menjaga kesehatan mental kita bersama, juga lebih peka terhadap kondisi kesehatan mental orang lain. Sebaris kalimat-kalimat yang baik dan supportif, serta segurat senyuman yang tulus dari hati mungkin dapat menyelamatkan jiwa seseorang yang sedang berkubang dalam kelam. Kita tidak pernah tahu hal berat apa yang dialami oleh seseorang sehingga ia harus berkutat dengan kondisi mental yang tidak stabil. Serta, bukan hak kita untuk menghakimi kondisi keimanan seseorang ketika ia didiagnosis menderita gangguan mental.
Kita hanya perlu untuk menjalankan peran kita masing-masing dengan sebaik-baiknya; sebagai seorang anak, sebagai orang tua, sebagai seorang teman. Meluangkan waktu menanyakan kabar, atau memberikan perhatian mungkin tidak akan serta merta menguras seluruh energi kita. Namun, bisa jadi kebaikan-kebaikan kecil itu akan sangat berarti bagi seseorang untuk menghidupkan kembali harapan-harapan di dalam dadanya.
Mari kita seksamai kembali pesan Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam itu; Yang terbaik di antara kita adalah yang paling takwa. Ketika ketakwaan itu telah ada dalam dada, maka insyaallah kita telah cukup. Tak peduli perihal apapun yang berada di luar kendali kita, takwa adalah bekal kita untuk merasa cukup. Dan akan selalu cukup. Salam sehat jiwa.
Penulis : Rifa’ah Ummu Fayyadh
0 Komentar
Belum ada pesan